Monday, March 26, 2012

Browse and view the concept of the body shape of the iPhone 5

0 comment
After Apple introduced the latest generation iPad, the fanboy is now directing a shot to the iPhone. Yes, Apple is projected to launch the iPhone 5 or whatever his name later this year as well as the continuation of the iPhone 4S.

Apple is still tightly shut mouth about the new iPhone will be like later. But as one of the most awaited gadget, has been much speculation about the embodiment and the new iPhone specifications.

Most recently, the source of the leading media Reuters says that the iPhone 5 will have a 4.6 inch wide screen. Substantial difference with the previous iPhone screen size is only 3.5 inch.

Well, the concept of ADR studios iPhone from the following website is trying to imagine how the shape of the latest iPhone corresponding circulating rumors that have been crowded.

Read More..

Five Alternative Instagram for Android Users

0 comment

While waiting for the arrival of Instagram on Android devices, it's worth trying a few alternatives if the application of other photos that are not less interesting.

Yes, since people infatuated with via instant photo editing applications, as developers compete to create applications with a variety of filters and features.

Indeed, many photo applications intended for Android, and the fifth application below are some of them as reported by Mashable, Monday (3/26/2012):

A. Pixlr-O-Matic
When compared with Instagram, richer application filter. He presents a selection of 68 filters, lighting effects have not added the 73 and 193 border.

Together with other applications that allow users to share photos on other social platforms, users Pixlr-O-Matic can also share pictures or menguploadya in imm.io. The application is available free for both IOS and Android.

2. Hispter
He has in common with Instagram to filter and combination of border affairs. But here Hipster users add text over a photo, so it looks like the postcard. After add modifiers in doing things, users can send it via email and show it off on networking sites or in the community Hipster.

In addition to working on the Android operating system, it is also available for IOS for free.

3. Photos Lightbox
This application gives you the option on each photo users, will be made private, can only be friends only or open to everyone.

In addition to mutual memfollow Lightbox fellow users, users also can connect to it to his Facebook and Twitter accounts. With this, they can see photos of his friends even if they do not have an account Lightbox.

4. Streamzoo
Filters, and effects are presented border Streamzoo touted almost like Instagram. Not only can upload photos, users can also upload video here. Again, it can be downloaded free of charge to users of IOS and Android.

5. Vignette
Applications that dbanderol USD 3.99 features 76 effects and 57 frames. Style retro / vintage served by Vignette seingga users are able to make the photo more beautiful.

Read More..

Bentuk Profesionalisme Yang Berprofesi Sebagai Seorang Dokter

0 comment
Dokter, sebuah profesi yang masih mendapat tempat yang istimewa di mata masyarakat. bukan hanya karena kedalaman ilmunya, tetapi karena jiwa kemanusiaannya yang akrab dengan tugasnya yang amat mulia, yakni menyelamatkan nyawa orang. Untuk itu dokter diharapkan memiliki sifat yang profesionalisme dalam berhubungan dengan pasiennya. Seorang dokter yang memiliki sifat professional tentunya mengerti mengenai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan.

Contoh bentuk profesionalisme dari seorang dokter

Disadari atau tidak apabila dokter praktik di beberapa tempat (lebih dari tiga tempat) maka secara profesional dokter ini sebenarnya sudah mengabaikan ketepatan waktu penyelenggaraan praktik yang sudah diumumkan pada papan nama praktik baik di rumah secara pribadi maupun dirumah sakit.

Sebagai contoh dokter X praktik di rumah sakit A dengan jumlah pasien yang ada telah melewati batas waktu yang ditetapkan, padahal di tempat praktik yang lain dokter tersebut telah ditunggu oleh pasien yang datang tepat waktu sesuai jadwal praktik yang tercantum di tempat praktik di rumahnya. Akibatnya dokter tersebut akan memberikan pelayanan secara terburu-buru di rumah sakit A sehingga kerawanan terjadinya kesalahan / malpraktik akan lebih besar.

Dokter dituntut untuk selalu meningkatkan diri dengan mengikuti pendidikan profesionalisme berkelanjutan, yang dilakukan secara periodik dan berkesinambungan di masa mendatang. Dengan demikian setelah surat tanda regristasi (STR) yang dia punyai habis masa berlakunya.Ketika harus mengurus pembaruan STR, tidak terlalu sulit untuk mendapat sertifikat kompetensi yang akan menjadi dasar untuk penerbitan Surat Izin Praktik baru.

Kendatipun demikian, untuk menjadi seorang dokter yang baik dan profesional minimal dalam dirinya harus terdapat beberapa hal dibawah ini;


· Terbuka : dokter yang profesional adalah sosok yang terbuka pada pasiennya. Dengan kata lain, dia mau memberikan berbagai informasi yang dibutuhkan seorang pasien, baik diminta ataupun tidak. Dokter juga mampu memberikan penjelasan dengan baik dan benar. Tidak ada keterangan yang sengaja ditutup-tutupi sehingga pasien tahu pasti apa masalah yang dialaminya.

· Bersedia mendengarkan pasien : dokter juga hendaknya mau mendengarkan keluhan dan menanggapi pertanyaan pasiennya. Dengan kata lain, komunikasi yang terjalin tidak berlangsung satu arah atau sepihak saja. Dokter tidak hanya memberikan instruksi, tapi alangkah baiknya menampung dan memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi pasien.

· Punya waktu cukup : agar dapat memberikan informasi yang lengkap dan bisa mendengarkan keluhan pasiennya, tentunya dokter butuh waktu yang cukup. Memang persoalan waktu adalah sesuatu yang relatif. Artinya, ada yang merasa perlu punya waktu panjang, tapi ada juga yang merasa cukup beberapa menit saja untuk melayani pasien.
Menjadi seorang dokter juga harus selalu bersedia menjelaskan pada pasien dan keluarganya bagaimana kondisinya, mendiskusikan bagaimana strategi pengobatannya, membantu pasien mengambil keputusan karena hak memilih pengobatan ada di tangan pasien. Tentunya dengan dokter memberikan informasi yang sejelas-jelasnya tentang untung-rugi sebuah pengobatan dengan baik akan mengurangi angka kejadian tidak puasnya pasien pada dokter. Namun kenyataannya hari ini, prosedur tersebut menjadi sangat langka dan amat sulit untuk ditemui dalam praktek dokter dinegeri ini.


Terpenting di sini dokter harus selalu menambah ilmu sebab pasien juga terbuka untuk belajar melalui media cetak/media elektronik yang sudah mengglobal.



Sumber-sumber

www.suaramerdeka.comDokter, sebuah profesi yang masih mendapat tempat yang istimewa di mata masyarakat. bukan hanya karena kedalaman ilmunya, tetapi karena jiwa kemanusiaannya yang akrab dengan tugasnya yang amat mulia, yakni menyelamatkan nyawa orang. Untuk itu dokter diharapkan memiliki sifat yang profesionalisme dalam berhubungan dengan pasiennya. Seorang dokter yang memiliki sifat professional tentunya mengerti mengenai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan.

Contoh bentuk profesionalisme dari seorang dokter

Disadari atau tidak apabila dokter praktik di beberapa tempat (lebih dari tiga tempat) maka secara profesional dokter ini sebenarnya sudah mengabaikan ketepatan waktu penyelenggaraan praktik yang sudah diumumkan pada papan nama praktik baik di rumah secara pribadi maupun dirumah sakit.

Sebagai contoh dokter X praktik di rumah sakit A dengan jumlah pasien yang ada telah melewati batas waktu yang ditetapkan, padahal di tempat praktik yang lain dokter tersebut telah ditunggu oleh pasien yang datang tepat waktu sesuai jadwal praktik yang tercantum di tempat praktik di rumahnya. Akibatnya dokter tersebut akan memberikan pelayanan secara terburu-buru di rumah sakit A sehingga kerawanan terjadinya kesalahan / malpraktik akan lebih besar.

Dokter dituntut untuk selalu meningkatkan diri dengan mengikuti pendidikan profesionalisme berkelanjutan, yang dilakukan secara periodik dan berkesinambungan di masa mendatang. Dengan demikian setelah surat tanda regristasi (STR) yang dia punyai habis masa berlakunya.Ketika harus mengurus pembaruan STR, tidak terlalu sulit untuk mendapat sertifikat kompetensi yang akan menjadi dasar untuk penerbitan Surat Izin Praktik baru.

Kendatipun demikian, untuk menjadi seorang dokter yang baik dan profesional minimal dalam dirinya harus terdapat beberapa hal dibawah ini;


· Terbuka : dokter yang profesional adalah sosok yang terbuka pada pasiennya. Dengan kata lain, dia mau memberikan berbagai informasi yang dibutuhkan seorang pasien, baik diminta ataupun tidak. Dokter juga mampu memberikan penjelasan dengan baik dan benar. Tidak ada keterangan yang sengaja ditutup-tutupi sehingga pasien tahu pasti apa masalah yang dialaminya.

· Bersedia mendengarkan pasien : dokter juga hendaknya mau mendengarkan keluhan dan menanggapi pertanyaan pasiennya. Dengan kata lain, komunikasi yang terjalin tidak berlangsung satu arah atau sepihak saja. Dokter tidak hanya memberikan instruksi, tapi alangkah baiknya menampung dan memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi pasien.

· Punya waktu cukup : agar dapat memberikan informasi yang lengkap dan bisa mendengarkan keluhan pasiennya, tentunya dokter butuh waktu yang cukup. Memang persoalan waktu adalah sesuatu yang relatif. Artinya, ada yang merasa perlu punya waktu panjang, tapi ada juga yang merasa cukup beberapa menit saja untuk melayani pasien.
Menjadi seorang dokter juga harus selalu bersedia menjelaskan pada pasien dan keluarganya bagaimana kondisinya, mendiskusikan bagaimana strategi pengobatannya, membantu pasien mengambil keputusan karena hak memilih pengobatan ada di tangan pasien. Tentunya dengan dokter memberikan informasi yang sejelas-jelasnya tentang untung-rugi sebuah pengobatan dengan baik akan mengurangi angka kejadian tidak puasnya pasien pada dokter. Namun kenyataannya hari ini, prosedur tersebut menjadi sangat langka dan amat sulit untuk ditemui dalam praktek dokter dinegeri ini.


Terpenting di sini dokter harus selalu menambah ilmu sebab pasien juga terbuka untuk belajar melalui media cetak/media elektronik yang sudah mengglobal.
Read More..

Bentuk profesionalisme dalam profesi polisi dan programer

0 comment
SEORANG POLISI


Tugas, Wewenang dan Fungsi Kepolisian

Pada hakekatnya tugas pokok Polri adalah menegakkan hukum, membina keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) serta pelayanan dan pengayom masyarakat. Secara sektoral tugas pelayanan Polri kepada masyarakat dapat dikelompokkan ke dalam struktur fungsi-fungsi sebagai berikut :

1. Fungsi Intelpam

1. Upaya pengamanan masyarakat terhadap segala bentuk ancaman untuk menghilangkan kerawanan-kerawanan Kamtibmas,

2. Upaya pengamanan, pengawasan, perlindungan, dan penindakan terhadap orang asing,

3. Penyidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran ketentuan perundang-undangan tentang orang asing,

4. Pengamanan dan pengawasan perizinan senjata api, amunisi dan bahan peledak serta alat/bahan berbahaya lainnya,

5. Penyelidikan terhadap penyimpan/penimbunan, penggunaan, pemindahan tangan senjata api, amunisi dan bahan peledak serta alat/bahan berbahaya lainnya termasuk radio aktif yang bukan organik ABRI,

6. Upaya pengamanan atau pengawasan kegiatan masyarakat.

2. Fungsi Serse

1. Menerima laporan/pengaduan,

2. Mendatangi TKP,

3. Melakukan penindakan.

3. Fungsi Samapta

1. Menyelenggarakan dan melaksanakan tugas-tugas penjagaan, pengawalan,patroli dan tindakan pertama ditempat kejadian (TPTKP),

2. Memberikan pertolongan dalam rangka SAR,

4. Fungsi Lantas

1. Surat Izin Mengemudi,

2. Surat Tanda Kendaraan bermotor,

3. Buku Pemilik kendaraan Bermotor,

4. Menyelenggarakan pengawalan,

5. Menangani laka lintas,

6. Menyelenggarakan peraturan lalu lintas.

5. Fungsi Bimmas

1. Membimbing, mendorong, mengarahkan dan menggerakkan, masyarakat guna terwujudnya daya tangkal dan daya cegah,

2. Tumbuhnya daya perlawanan masyarakat terhadap kriminalitas serta terwujudnya ketaatan serta kesadaran hukum masyarakat,

3. Pembinaan potensi masyarakat untuk memelihara dan menciptakan situasi dan kondisi masyarakat yang menguntungkan bagi pelaksanaan tugas kepolisian serta mencegah timbul faktor kriminogen,

4. Pembinaan keamanan swakarsa,

5. Menyelenggarakan dan memberikan bimbingan dan penyuluhan,

6. Pembinaan dan bimbingan terhadap remaja dan anak-anak, kenakalan remaja.

6. Fungsi Pembinaan Personnel

Fungsi ini dimasukkan ke dalam tugas-tugas pelayanan masyarakat mengingat dalam kenyataan sehari-harinya juga melayani para Purnawirawan,warakauri dan sebagian kelompok pemuda dalam rangka :

· Penerimaan dan seleksi personel baru,

· Administrasi pengakhiran dinas termasuk pembinaan administrasi purnawirawan/warakauri dan yatim piatu keluarga besar Polri.

Untuk melaksanakan tugas dan fungsi tersebut, kepada masing-masing anggota polisi diberi wewenang. Wewenang kepolisian diatur dalam pasal 15 Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 :

a. Menerima laporan dan pengadaan.

b. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian.

c. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang.

d. Mencari keterangan dan barang bukti.

e. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional.

f. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menganggu ketertiban umum.

g. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat.

h. Mengawasi aliran kepercayaan yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

i. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat.

j. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan.

k. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

l. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan.

m. Mengeluarkan peraturan Kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif Kepolisian yang mengikat warga masyarakat.

Konsep Diskresi Kepolisian

Konsep mengenai diskresi Kepolisian terdapat dalam pasal 18 Undang-undang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002, yang berbunyi :

1. Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Rumusan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 ini merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum Kepolisian (plichtmatigheids beginsel) taitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.

Secara umum, kewenangan ini dikenal sebagai “diskresi kepolisian” yang keabsahannya didasarkan pada pertimbangan keperluannya untuk tugas kewajiban (PFLICHTMASSIGES ERMESSEN). Substansi Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 merupakan konsep kewenangan kepolisian yang baru diperkenalkan walaupun dalam kenyataan sehari-hari selalu digunakan. Oleh karena itu, pemahaman tentang “diskresi kepolisian” dalam pasal 18 ayat (1) harus dikaitkan juga dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam pasal 1, 32, dan 33 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 sehingga terlihat adanya jaminan bahwa petugas Kepolisisan Negara Republik Indonesia akan mampu mengambil tindakan secara tepat dan professional berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka pelaksanaan tugasnya.Rumusan dalam pasal 18 ayat (2) merupakan rambu-rambu bagi pelaksanaan “diskresi” sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu selain asas keperluan, tindakan diskresi tetap harus sesuai dan memperhatikan peraturan perundang undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pada awal tahun 1985 kita hanya mengenal istilah “Kode Etik Polri” , Kode Etik Polri ini ditetapkan oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Kapolri No. Pol. : Skep/213/VII/1985 tanggal 1 Juli 1985 yang selanjutnya naskah dimaksud terkenal dengan “Naskah Ikrar Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia beserta pedoman pengamalannya” , yang biasa di ucapkan /diikrarkan sesaat menjelang akhir suatu pendidikan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 dimana pada pasal 23 mempersyaratkan adanya Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka pada tanggal 7 Maret 2001 diterbitkan buku Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Keputusan Kapolri No. Pol. : KEP/05/III/2001, serta Kep. Kapolri No.Pol : KEP/04/III/2001 tentang Buku Petunjuk Administrasi Komisi Kode Etik Polri. Adapun landasan dari Kode Etik Profesi Polri ini adalah UU. Kepolisian No. 28/ 1997.

Seiring dengan dikeluarkannya UU Kepolisian yang baru yaitu UU No. 2 tahun 2002, terdapat pula beberapa perubahan terhadap Kode Etik Profesi Polri. Pada UU.No.2/2002, yaitu pada bab V (pasal 31s/d 35) mengatur secara khusus mengenai “Pembinaan Profesi” (Polri). Salah satu upaya dalam rangka pembinaan Profesi Polri adalah melalui Pembinaan Etika Profesi, yaitu seperti pada pasal 32 (1) UU. No 2/2002 , yang berbunyi :

“Pembinaan kemampuan profesi pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselenggarakan melalui pembinaan etika profesi…..”.

Selanjutnya etika profesi ini kemudian diwujudkan pada apa yang disebut dengan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, seperti yang diatur pada pasal 34 dan 35 UU. No. 2/2002 :

· “Pasal 34 :

1) Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2) Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungannya.(3) Ketentuan mengenai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri.

· Pasal 35:

1) Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselesaikan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2) Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri.” Ketentuan yang berkaitan dengan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan amanat Undang-undang No.2/2002 pasal 34 & 35 kemudian di wujudkan melalui Kep. Kapolri No.Pol. : KEP/01/ VII/2003, tentang Naskah Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kode etik ini adalah merupakan pedoman perilaku dan moral bagi anggota polri bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai upaya pemuliaan terhadap profesi kepolisian, yang berfungsi sebagai pembimbing pengabdian, sekaligus menjadi pengawas hati nurani setiap anggota agar terhindar dari perbuatan tercela dan penyalahgunaan wewenang.Kode etik profesi Kepolisian adalah merupakan kristalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya bersifat Normatif Praktis sehingga dapat digunakan untuk menilai kepatuhan dan kelayakan tindakan dari segi persyaratan teknis profesi .

Etika profesi Kepolisian memuat 3 (tiga) substansi etika yaitu Etika Pengabdian, Kelembagaan dan Kenegaraan, yang pengertiannya adalah :

· Etika pengabdian; merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Etika Pengabdian pada Kode Etik Profesi Kepolisian di jabarkan dalam pasal 1 s/d 7.

· Etika kelembagaan; merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah pengabdian dan patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dengan segala martabat dan kehormatannya. Etika Kelemagaan dijabarkan pada pasal 8 s/d 12

· Etika kenegaraan; merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Etika Kenegaraan ini dijabarkan pada pasal 13 s/d 16.

Kode etik Profesi Kepolisian (KEP. Kapolri No. : KEP/01/VII/ 2003) yang baru ini lebih operasional dibanding dengan Kode Etik Profesi sebelumnya (Kep Kapolri No. : Kep/04/III/2001 dan Kep/05/III/2001) , hal ini dikarenakan pada Kode Etik Profesi Kepolisian yang baru masing-masing bentuk etika (Pengabdian, Kelembagaan dan Kenegaraan) diatur perilaku-perilaku yang Etis dan yang tidak Etis lebih rinci, sehingga ada batasan jelas yang dibakukan, selain itu juga diatur pula bentuk sanksinya dan cara penegakannya.

Langkah apa saja yang telah dilakukan oleh pihak kepolisian menuju tercapainya PROFESIONALISME

Untuk mewujudkan tugas pokok tersebut tentunya perlu dukungan dari masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban serta penegakan hukum adalah sangat penting. Partisipasi itu bisa terwujud apabila masyarakat merasa memiliki dan mencintai Polri. Hal itu bisa terwujud jika Polri dapat merebut hati masyarakat, dekat dengan masyarakat dengan menunjukkan sikap, perilaku, dan pelayanan yang baik kepada masyarakat.

Harapan Masyarakat terhadap Kinerja Polri Harapan masyarakat sudah banyak disebutkan pada perbincangan sebelumnya, yang pada intinya masyarakat ingin agar Polri dapat mewujudkan tugas pokoknya dengan baik, yang dilandasi oleh moralitas, profesionalisme sebagai polisi sipil, dan memiliki kedekatan dengan rakyat yang positif. Harapan itu sebenarnya tidak berlebihan. Untuk itu, setiap anggota Polri juga harus memperhatikan beberapa hal, yaitu:

1. Mengenal diri, artinya tahu dan paham, dan menghayati benar siapa dirinya (sebagai anggota polisi sipil), paham dan menghayati tugasnya dan bagaiman melakukan tugas dengan baik, serta memahami apa yang menjadi keharusan dan larangannya.

2. Integritas pribadi, artinya bersikap jujur, adil, dan amanah dalam melakukan tugas.

3. Pengendalian diri, yang berarti dapat menunda gratifikasi dan bertindak secara proporsional serta tidak emosional.

4. Komitmen dan konsistensi, artinya memiliki tekad yang kuat untuk menjadi polisi yang baik sebagai pelindung, pengayom,dan pelayan masyarakat.

5. Kepercayaan diri, artinya dalam melaksanakan tugas tidak bersikap ragu-ragu, tegas tetapi tetap terukur dan tetap sopan santun.

6. Fleksibel, berarti tidak bersifat kaku dalam bertindak.



SEORANG PROGRAMER


Dalam setiap profesi kita butuh memiliki sikap profesionalisme, apaun itu bidangnya yang sedang anda lakukan. Kita juga perlu mengetahui kode etik professional yang harus dimiliki oleh seorang IT. Dan berikut adalah ciri-ciri profesionalisme yang dibutuhkan seorang IT:

· Memiliki pengetahuan yang tinggi di bidang TI

· Memiliki ketrampilan yang tinggi di bidang TI

· Memiliki pengetahuan yang luas tentang manusia dan masyarakat, budaya, seni, sejarah dan komunikasi

· Tanggap tehadap masalah client, paham terhadap isu-isu etis serta tata nilai kilen-nya

· Mampu melakukan pendekatan multidispliner

· Mampu bekerja sama (Team Work)

· Bekerja dibawah disiplin etika

· Mampu mengambil keputusan didasarkan kepada kode etik, bila dihadapkan pada situasi dimana pengambilan keputusan berakibat luas terhadap masyarakat

Kode Etika Profesional

Pengertian kode etik profesi

Kode etik profesi merupakan sarana untuk membantu para pelaksana sebagai seseorang yang professional supaya tidak dapat merusak etika profesi. Kode etik merupakan sekumpulan prinsip yang harus diikuti sebagai petunjuk bagi karyawan perusahaan atau anggota profesi. Beragamnya penerapan teknologi informasi dan meningkatnya penggunaan teknologi telah menimbulkan berbagai variasi isu etika.

Setujunya, setiap bidang profesi memiliki aturan-aturan/hukum-hukum yang mengatur bagaimana seorang profesional berfikir dan bertindak. Seseorang yang melanggar Kode Etik dikenakan sanksi. Sanksi yang dikenakan adalah mulai dari yang paling ringan, yaitu sekedar mendapat sebutan “tidak profesional” sampai pada pencabutan ijin praktek, bahkan hukuman pidana pun bisa terjadi.

Sebagai salah satu bidang profesi, Information Technology (IT) bukan pengecualian, diperlukan aturan-aturan tersebut yang mengatur bagaimana para IT profesional ini melakukan kegiatannya. Sejauh yang pernah saya baca, belum ada Kode Etik khusus yang ditujukan kepada IT Profesional di Indonesia. Memang sudah ada beberapa kegiatan yang mengarah ke terbentuknya Kode Etik ini. Dalam postingan kali ini, saya ingin mengenalkan Kode Etik yang dibuat oleh IEEE Computer Society dan ACM yang ditujukan khusus kepada Software Engineer sebagai salah satu bidang yang perannya makin meningkat di IT.

Ada lima aktor yang perlu diperhatikan:

1. Publik

2. Client

3. Perusahaan

4. Rekan Kerja

5. Diri Sendiri

Karyawan IT di client mestinya juga mengadopsi Kode Etik tersebut, sehingga bisa terjalin hubungan profesional antara konsultan dengan client. Bertindak fair terhadap kolega juga berlaku bagi karyawan IT di organisasi client dalam memperlakukan vendornya. Apabila dua perusahaan telah sepakat untuk bekerja sama membangun suatu software, maka para profesional IT di kedua perusahaan tersebut harus dapat bekerja sama dengan fair sebagai sesama profesional IT . Beberapa perlakuan yang tidak fair terhadap kolega, antara lain:

Ø Dalam ruang lingkup TI, sebagai seorang profesional kita mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan etika profesi teknologi informasi yang memuat kajian ilmiah mengenai prinsip atau norma-norma dalam kaitannya dengan hubungan antara professional atau developer TI dengan klien, antara para professional sendiri, dan antara organisasi profesi serta organisasi profesi dengan pemerintah. Salah satu bentuk hubungan seorang professional dengan klien (pengguna jasa) misalnya dalam pembuatan sebuah program aplikasi.

Ø Dalam pembuatan program, seorang profesional tidak dapat membuat program sesuai kehendaknya, tapi ada beberapa hal/etika/aturan yang harus diperhatikan dari mulai awal pembuatan program sampai program tersebut selesai. Dia harus bisa mempertimbangkan dan memperhatikan untuk apa program tersebut dibuat sesuai kebutuhan kliennya.

Ø Seorang profesional harus mampu berfikir bagaimana menerapkan dan membuat keamanan (security) pada sistem kerja program aplikasi yang dibuatnya agar terproteksi dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang dapat mengacaukan sistem seperti : hacker, cracker, dan sebagainya.

Pada postingan kali ini akan membahas mengenai Ciri-ciri profesionalisme di bidang IT dan kode etik profesional yang seperti apa yang harus dipunyai oleh seorang IT.

Etika merupakan suatu cabang filosofi yang berkaitan dengan apa saja yang dipertimbangkan baik dan salah. Ada beberapa definisi mengenai etika antara lain :

· Kode moral dari suatu profesi tertentu

· Standar penyelenggaraan suatu profesi tertentu

· Persetujuan diantara manusia untuk melakukan yang benar dan menghindari yang salah.

Ada tiga hal pokok yang merupakan fungsi dari kode etik profesi :

1. Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik profesi, pelaksana profesi mampu mengetahui suatu hal yang boleh dia lakukan dan tidak boleh dilakukan.

2. Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesi dapat memberikan suatu pengetahuan kepada masyarakat agar juga dpat memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga memungkinkan pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan kerja (kalangan social).

3. Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan bahwa para pelaksana profesi pada suatu instansi atau perusahaan yang lain tidak boleh mencampuri pelaksanaan profesi di lain instansi atau perusahaan.


Teknologi Informasi ( IT ) merupakan teknologi yaag selalu berkembang baik secara revolusioner ( seperti misalnya perkembangan dunia perangkat keras ) maupun yang lebih bersifat evolusioner ( seperti yang terjadi pada perkembangan perangkat lunak ).

Hal itu mengakibatkan bahwa pekerjaan di bidang Teknologi Informasi menjadi suatu pekerjaan di mana pelakunya harus terus mengembangkan ilmu yang dimilikinya untuk mengikuti perkembangan Teknologi Informasi tersebut. Artinya, seseorang yang sudah sampai pada level “ahli” di satu bidang pada saat ini, bisa ketinggalan pada bidang yang sama di masa depan jika tidak mengikuti perkembangan yang ada.

1. Peningkatan Profesionalisme

Syarat profesionalisme yang harus dimiliki pekerja IT :

1) Dasar ilmu yang kuat dalam bidangnya sebagai bagian dari masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan abad 21.

2) Penguasaan kiat-kiat profesi yang dilakukan berdasarkan riset dan praktis, bukan hanya merupakan teori atau konsep.

3) Pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan.

Penyebab rendahnya profesionalisme pekerja IT :

1) Masih banyak pekerja IT yang tidak menekuni profesinya secara total.

2) Belum adanya konsep yang jelas dan terdefinisi tentang norma dan etika profesi pekerja dibidang IT.

3) Masih belum ada organisasi profesional yang menangani para profesional dibidang IT.

2. Mempesiapkan SDM

Contoh program pendidikan Indonesia yang berkaitan dengan Teknologi Informasi :

1) Program Sekolah 2000

2) Program SMK Teknologi Informasi

3) Program Diploma Teknologi Informasi

4) Program Pendidikan Sarjana Teknologi Informasi

3. Menjadi Profesional dengan sertifikasi

Alasan pentingnya sertifikasi profesionalisme dibidang IT :

1) Bahwa untuk menuju pada level yang diharapkan, pekerjaan di bidang TI membutuhkan expertise.

2) Bahwa profesi dibidang TI, dapat dikatakan merupakan profesi menjual jasa dan bisnis jasa bersifat kepercayaan.

4. Manfaat adanya sertifikasi profesionalisme :

1) Ikut berperan dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih professional

2) Pengakuan resmi pemerintah tentang tingkat keahlian individu terhadap sebuah profesi

3) Pengakuan dari organisasi profesi sejenis, baik tingkat regional maupun internasional

4) Membuka akses lapangan pekerjaan secara nasional, regional maupun internasional

5) Memperoleh peningkatan karier dan pendapatan sesuai perimbangan dengan pedoman skala yang diberlakukan
Read More..

Profesionalisme, Etika dan Profesi Hukum

0 comment
“The good old days weren't always good and tomorrow ain't as bad as it seems.” "Hari-hari tua yang baik tidak selalu baik dan besok tidak seburuk kelihatannya."
- Billy Joel “ Keeping the Faith ” - Billy Joel " Menjaga Iman "
“”

Professionalism, ethics, and civility in the profession of law has gotten a lot of “air time” with the current generation of lawyers. Profesionalisme, etika, dan kesopanan dalam profesi hukum telah mendapat banyak "air time" dengan generasi sekarang pengacara. My first reaction to this sentiment is to roll my eyes and give a sigh. Reaksi pertama saya dengan sentimen ini adalah untuk memutar mata dan memberikan mendesah. I see a group of professionals lamenting over the loss of the “good old days.” I have, in the past, fallen into the rote responses – of course lawyers cheat and lie, of course lawyers fight dirty, there is no such thing as an ethical lawyer. Saya melihat sekelompok profesional meratapi hilangnya saya miliki, di masa lalu, jatuh ke dalam respon hafalan "masa lalu yang indah." - Tentu saja pengacara menipu dan berbohong, tentu saja pengacara melawan kotor, tidak ada hal seperti pengacara etis. After being in law school for three years, I can now honestly say that being a lawyer is entirely about being professional, being ethical, and being civil. Setelah berada di sekolah hukum selama tiga tahun, sekarang saya bisa jujur ​​mengatakan bahwa menjadi seorang pengacara sepenuhnya tentang menjadi profesional, menjadi etika, dan menjadi sipil.

Professional integrity is the best and only currency that you have as a lawyer. Integritas profesional adalah mata uang terbaik dan hanya yang Anda miliki sebagai pengacara.
“”

To paraphrase from one of my favorite movies, “The American President”, being a lawyer isn't easy. Mengutip dari salah satu film favorit saya, "Presiden Amerika", menjadi pengacara tidak mudah. Being a lawyer is advanced citizenship. Menjadi pengacara adalah kewarganegaraan maju. You've got to want it bad, because it is going to put up a fight. Anda harus menginginkannya buruk, karena itu akan melakukan perlawanan. Being a lawyer – a professional, ethical, and civil lawyer – means that you need to be able to zealously advocate for your client. Menjadi pengacara - pengacara, profesional etika, dan sipil - berarti bahwa Anda perlu untuk dapat rajin advokasi untuk klien Anda. It also means that you may have to tell them, “no.” It means that you are going to have to make the decision between the billable hour and what is just and fair for your client. Ini juga berarti bahwa Anda mungkin harus memberitahu mereka, Ini berarti bahwa Anda harus membuat keputusan antara jam dapat ditagih dan apa yang adil dan adil untuk klien Anda "tidak.". It means that you have to be able to fight tooth and nail for what you believe in – and realize that opposing counsel is just doing the same. Ini berarti bahwa Anda harus mampu untuk melawan mati-matian untuk apa yang Anda percaya - dan menyadari bahwa nasihat yang berlawanan hanya melakukan hal yang sama.

I listen to attorney Philip K. Lyon give his opinions on why the law profession has become less civil over the last few decades, and I can't help but hear a man who finds himself squeezed by an ever more competitive professional landscape reminiscing about the “good old days.” It's easy to take to a podium and speak with longing of a better time – a time when the profession was less crowded, when everyone was more civil, and when every day in court ended with opposing counsels sharing a few laughs together over martini's. Saya mendengarkan pengacara Philip K. Lyon memberikan pendapatnya tentang mengapa profesi hukum telah menjadi kurang sipil selama beberapa dekade terakhir, dan saya tidak bisa tidak mendengar seorang pria yang menemukan dirinya terjepit oleh lanskap profesional semakin kompetitif mengenang para ". masa lalu yang indah" Ini mudah untuk dibawa ke podium dan berbicara dengan kerinduan waktu yang lebih baik - saat ketika profesi itu kurang ramai, ketika semua orang lebih sipil, dan ketika setiap hari di pengadilan berakhir dengan menentang nasihat berbagi beberapa tertawa bersama lebih dari itu martini. He addresses the “young lawyers” and tell them that they are rude, uncivil, and unprofessional. Dia membahas "pengacara muda" dan memberitahu mereka bahwa mereka kasar, tidak sopan, dan tidak profesional. He blames the law schools for “putting out too many lawyers.” Without hesitation, I agree with Mr. Lyon that to practice in the profession of law is to practice in a profession that requires ethics and civility. Dia menyalahkan sekolah hukum bagi Tanpa ragu-ragu "memadamkan pengacara terlalu banyak.", Saya setuju dengan Mr Lyon yang berlatih dalam profesi hukum adalah untuk berlatih dalam profesi yang membutuhkan etika dan kesopanan. What I do not and cannot agree with is his contention that those currently in the profession are neither civil nor ethical – or at least not to any degree more or less than in any previous generation. Apa yang saya lakukan tidak dan tidak bisa setuju dengan adalah pendiriannya bahwa yang saat ini dalam profesi yang baik sipil maupun etika - atau setidaknya tidak ke tingkat yang lebih atau kurang daripada di generasi sebelumnya.

In that respect I agree more with Professor Neil Hamilton: Dalam hal itu saya setuju dengan Profesor Neil Hamilton:

Arguments by generations of lawyers who graduated prior to the 1980s that ethics were higher and lawyer conduct more civil earlier in their careers, while understandable, are subject to the charge that such an “ethical golden age” did not exist, and in fact there were serious ethical problems of scoundrels, discrimination, and lack of diversity in the earlier time period. Argumen oleh generasi pengacara yang lulus sebelum tahun 1980-an bahwa etika lebih tinggi dan pengacara melakukan lebih sipil di awal karir mereka, sementara dimengerti, dikenakan tuduhan bahwa sebuah "masa keemasan etis" tidak ada, dan sebenarnya ada masalah etika yang serius dari bajingan, diskriminasi, dan kurangnya keragaman dalam periode waktu sebelumnya. Claims of more ethical conduct or more civility in earlier periods are difficult to test empirically. Klaim kode etik lebih atau kesopanan lebih dalam periode sebelumnya sulit untuk menguji secara empiris.
“”

(Hamilton, Neil W., Professionalism Clearly Defined (2007). U of St. Thomas Legal Studies Research Paper No. 07-30; U of St. Thomas Legal Studies Research Paper No. 07-30. Available at SSRN : http :// ssrn . com / abstract =1015396) (Hamilton, Neil W., Profesionalisme Jelas Ditetapkan (2007) U dari St Thomas Penelitian Ilmu Hukum Paper No 07-30; U St Kertas Hukum Thomas Penelitian Studi No 07-30 Tersedia di.. SSRN : http: / / ssrn com /. Bahasa 1015396)

Don't take my words too harshly, however. Jangan mengambil kata-kata saya terlalu keras, namun. I do believe that in order to foster professionalism, ethics, and civility in each new successive generation of lawyers the dialogue must continue. Saya percaya bahwa untuk mendorong profesionalisme, etika, dan kesopanan dalam setiap generasi baru dari pengacara dialog harus terus. It is important for us to be mindful of these important facets of our professional identity lest we be doomed to forget them. Penting bagi kita untuk memperhatikan ini aspek penting dari identitas profesional kami supaya kita jangan ditakdirkan untuk melupakan mereka. In much the same way each generation perpetuates their set of values and morals to the next generation through words and example, so too should the legal profession ensure the transfer of these values from generation to generation. Dalam banyak cara yang sama setiap generasi melanggengkan set mereka nilai dan moral kepada generasi berikutnya melalui kata-kata dan contoh, sehingga juga harus profesi hukum memastikan transfer nilai-nilai dari generasi ke generasi. In much the same way that businesses have mission statements, religions make a profession of faith, and even down to our New Year's Resolutions, it is important to concretely synthesize what we “believe in” as a profession. Dalam banyak cara yang sama bahwa bisnis memiliki pernyataan misi, agama membuat pengakuan iman, dan bahkan hingga ke Resolusi Tahun Baru kami, penting untuk mensintesis konkret apa yang kita "percaya" sebagai sebuah profesi. The “Statement of Skills and Values” from the MacCrate Report excerpt illustrates this. "Pernyataan Keterampilan dan Nilai" dari kutipan Laporan MacCrate menggambarkan hal ini. Especially for the new lawyer, but even for the “old pro's”, having, and periodically referring to, a statement of professional purpose such as the type illustrated in the MacCrate report is valuable in maintaining focus in what is often a turbulent profession. Khusus untuk pengacara baru, tapi bahkan untuk "tua pro", memiliki, dan secara berkala merujuk pada, pernyataan tujuan profesional seperti jenis diilustrasikan dalam laporan MacCrate yang berharga dalam mempertahankan fokus dalam apa yang sering profesi bergejolak.

Probably the best summation of my view on this topic was given by Rod Smolla, dean of the law school at Washington and Lee : “I think we're probably at the beginning of some significant restructuring of the legal profession and consequently law schools. Mungkin penjumlahan terbaik dari pandangan saya tentang topik ini diberikan oleh Rod Smolla, dekan fakultas hukum di Washington dan Lee : "Saya pikir kami mungkin pada awal beberapa restrukturisasi yang signifikan dari profesi hukum dan akibatnya sekolah hukum. It's a caricature and a falsehood to say modern legal education doesn't care about ethics and the role of lawyers in society. Ini karikatur dan dusta untuk mengatakan pendidikan hukum modern tidak peduli etika dan peran pengacara dalam masyarakat. But I think many of our structures don't allow us to deliver to students that which we care about.” Tapi saya pikir banyak dari struktur kita tidak memungkinkan kita untuk menyampaikan kepada siswa bahwa yang kita sayangi. "
Read More..

Professionalism, Ethics and the Legal Profession

0 comment
Professionalism, Ethics and the Legal Profession

“The good old days weren’t always good and tomorrow ain’t as bad as it seems.”
- Billy Joel “Keeping the Faith”
“”

Professionalism, ethics, and civility in the profession of law has gotten a lot of “air time” with the current generation of lawyers. My first reaction to this sentiment is to roll my eyes and give a sigh. I see a group of professionals lamenting over the loss of the “good old days.” I have, in the past, fallen into the rote responses – of course lawyers cheat and lie, of course lawyers fight dirty, there is no such thing as an ethical lawyer. After being in law school for three years, I can now honestly say that being a lawyer is entirely about being professional, being ethical, and being civil.

Professional integrity is the best and only currency that you have as a lawyer.
“”

To paraphrase from one of my favorite movies, “The American President”, being a lawyer isn’t easy. Being a lawyer is advanced citizenship. You’ve got to want it bad, because it is going to put up a fight. Being a lawyer – a professional, ethical, and civil lawyer – means that you need to be able to zealously advocate for your client. It also means that you may have to tell them, “no.” It means that you are going to have to make the decision between the billable hour and what is just and fair for your client. It means that you have to be able to fight tooth and nail for what you believe in – and realize that opposing counsel is just doing the same.

I listen to attorney Philip K. Lyon give his opinions on why the law profession has become less civil over the last few decades, and I can’t help but hear a man who finds himself squeezed by an ever more competitive professional landscape reminiscing about the “good old days.” It’s easy to take to a podium and speak with longing of a better time – a time when the profession was less crowded, when everyone was more civil, and when every day in court ended with opposing counsels sharing a few laughs together over martini’s. He addresses the “young lawyers” and tell them that they are rude, uncivil, and unprofessional. He blames the law schools for “putting out too many lawyers.” Without hesitation, I agree with Mr. Lyon that to practice in the profession of law is to practice in a profession that requires ethics and civility. What I do not and cannot agree with is his contention that those currently in the profession are neither civil nor ethical – or at least not to any degree more or less than in any previous generation.

In that respect I agree more with Professor Neil Hamilton:

Arguments by generations of lawyers who graduated prior to the 1980s that ethics were higher and lawyer conduct more civil earlier in their careers, while understandable, are subject to the charge that such an “ethical golden age” did not exist, and in fact there were serious ethical problems of scoundrels, discrimination, and lack of diversity in the earlier time period. Claims of more ethical conduct or more civility in earlier periods are difficult to test empirically.
“”

(Hamilton, Neil W., Professionalism Clearly Defined (2007). U of St. Thomas Legal Studies Research Paper No. 07-30; U of St. Thomas Legal Studies Research Paper No. 07-30. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1015396)

Don’t take my words too harshly, however. I do believe that in order to foster professionalism, ethics, and civility in each new successive generation of lawyers the dialogue must continue. It is important for us to be mindful of these important facets of our professional identity lest we be doomed to forget them. In much the same way each generation perpetuates their set of values and morals to the next generation through words and example, so too should the legal profession ensure the transfer of these values from generation to generation. In much the same way that businesses have mission statements, religions make a profession of faith, and even down to our New Year’s Resolutions, it is important to concretely synthesize what we “believe in” as a profession. The “Statement of Skills and Values” from the MacCrate Report excerpt illustrates this. Especially for the new lawyer, but even for the “old pro’s”, having, and periodically referring to, a statement of professional purpose such as the type illustrated in the MacCrate report is valuable in maintaining focus in what is often a turbulent profession.

Probably the best summation of my view on this topic was given by Rod Smolla, dean of the law school at Washington and Lee: “I think we’re probably at the beginning of some significant restructuring of the legal profession and consequently law schools. It’s a caricature and a falsehood to say modern legal education doesn’t care about ethics and the role of lawyers in society. But I think many of our structures don’t allow us to deliver to students that which we care about.”


Source

Read More..

 
Copyright 2011 @ MORE ADVANCED!